SELAMAT DATANG PAK!
Sapaan pramuniaga sambil membuka pintu butik untuk Anda menandakan gaya berbelanja Anda. Adi Surantha memaparkan fenomena gaya berbelanja kaum pria dan perkembangannya dari masa ke masa.
Suatu siang yang cerah, di salah satu butik label fashion papan atas yang terdepan dengan produksi setelan jas khusus pria terlihat beberapa pria duduk santai di sofa yang tersedia di sudut ruangan. Beberapa pria mengenakan kemeja putih bersih dan celana katun hitam yang mencirikan kode busana kantoran, sedangkan yang lainnya mengenakan atasan batik berpotongan longgar. Mereka terlihat seperti kumpulan pria berusia matang yang berbeda profesi. Ada yang business man, ada pula yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah. Salah satu pria berbicara cukup keras dan yang lainnya tertawa keras, mereka sedang mengomentari salah satu setelan jas yang dipamerkan oleh salah seorang store manager. Terlihat juga salah seorang staff butik wanita dengan hati-hati menyuguhkan beberapa set cangkir kopi dan kue kering untuk para pelanggannya tersebut. Sedangkan para pria tersebut dengan santai menghisap cigar dan saling melempar komentar atau canda kepada teman ataupun pramuniaga butik. Mereka itu sedang berbelanja di butik favoritnya, beberapa pun sedang melakukan sesi fitting di ruang ganti. Mereka dipastikan pelanggan setia label fashion tersebut, tak heran para staff butik pun melayani mereka dengan sepenuh hati bahkan menyebut nama pria separuh baya tersebut dengan akrab. Saat keluar dari pintu butik, terlihat beberapa ajudan pun menunggu tuannya dengan tegap di balik pembatas kaca.
Gambaran di atas merupakan “wajah” pria kalangan atas masa kini saat melakukan aktivitas belanja busana ataupun koleksi aksesori lainnya di butik kelas satu. Walaupun di hari kantor entah setelah makan siang bersama kolega bisnis dan teman, mereka dengan santai melakukan aktivitas belanja. Jika boleh kita membandingkannya dengan gaya berbelanja di masa lampau, mulai dari empat sampai tiga dekade lalu sudah tentu “potret” gaya hidup pria Indonesia soal berbelanja jauh berbeda. Sebelum merek-merek asing dari rumah mode ternama dunia bertengger di pusat-pusat perbelanjaan yang lengkap dengan pendingin ruangan dan eksterior modern, para pria menghabiskan waktu berbelanja busana dengan cara menjahit kepada penjahit rumahan. “ Koleksi busana saya hasil jahitan di penjahit langganan di Pecenongan. Belum ada desainer fashion yang membuat busana khusus pria saat itu (era 60 sampai 70-an). Pak Soeharto saja menjahit busananya sampai harus ke Singapura dengan desainer lokal di sana” Ungkap Peter Sie , perancang pertama Indonesia yang kini sudah berusia 82 tahun. Sedangkan Muara Bagdja pengamat mode dan gaya hidup menjelaskan bahwa dulu dia (saat muda) dan juga teman-temannya harus membeli bahan di pasar baru dan menjahitnya dengan penjahit di Pasar Baru ataupun penjahit langganan lainnya untuk mendapatkan busana yang akan dikenakan. Potret gaya hidup pria yang dituturkan oleh desainer fashion dan pengamat mode senior tersebut memperlihatkan betapa sulitnya pria mencari koleksi busana untuk mengakomodir gaya busananya. Belum banyak pusat-pusat perbelanjaan mewah berdiri tegak di era negeri ini sedang giat –giatnya membangun bangsa ini. Fashion masih dipandang sebagai urusan kurang penting baik untuk wanita apalagi khusus pria. Sedangkan di belahan barat bumi sana, John F Kennedy sudah mengenakan setelan perancang, Pierre Cardin sibuk melansir koleksi pria bertajuk “Superman” di era 70-an, bahkan Yves Saint Laurent sudah asyik merancang busana pria khusus pertunjukan teater di Paris. Banyak pihak yang tersedia dan saling terkait untuk mengakomodir gaya hidup pria saat itu.
Walau tak banyak pria sempat merasakan gaya busana jazz yang marak di era 50-an, setidaknya celana cut bray pria sempat menyapu lantai-lantai disko era 70-an. Para pria yang biasa menjahit busana di tailor kawasan Mangga Besar ataupun Pasar Baru sudah mulai tergoda dengan karya-karya kontemporer perancang Milan yang menggebrak dunia mode dunia saat itu. Perancang busana seperti Gianni Versace dan Giorgio Armani adalah beberapa nama sakti di dunia mode baik lini wanita dan pria. Banyak pria Indonesia rela memesan tiket pesawat untuk terbang ke pusat-pusat mode dunia seperti Milan dan Paris untuk berbelanja karya perancang ternama dunia. Beberapa nama baru pun bermunculan seperti perancang Amerika Ralph Lauren yang koleksi busana prianya seperti momen pencerahan bagi gaya pria modern. Label Dolce & Gabbana pun marak saat era 80-an dengan desain-desainnya yang provokatif. “ Dulu setiap musim fashion week, saya dan teman-teman pasti ke Milan dan Paris. Selain untuk melihat fashion show kita pasti berbelanja koleksi desiner dari koleksi musim sebelumnya yang harganya sudah sale di pusat-pusat perbelanjaan. Biasanya di La Rinascente Milan ataupun di Galeries Lafayette di Paris” Ungkap Itang Yunasz, perancang mode tanah air. Sepuluh tahun sesudahnya para pria penggemar fashion mulai gemar ke negeri tetangga Singapura. Pasalnya butik-butik fashiond I di sepanjang Jalan Orchard hingga gerai ritel Club 21 banyak menyedot pria dari kalangan papan atas tanah air untuk berbelanja koleksi busana setiap bulannya. Singapura bagaikan surga belanja bagi kalangan jet set Ibukota termasuk kaum pria, banyak label mulai berdatangan seperti semut mengerubungi gula yang bertebaran di Singapura. Di akhir tahun 80-an pusat-pusat perbelanjaan kelas satu sudah mulai merebak di Jakarta salah satunya Ratu Plaza yang menyediakan beragam butik-butik merek fashion ternama, pria pun mulai berbelanja ke mal “ Label-label Issey Miyake sampai Charles Jourdan sudah ada di beberapa butik multibrand, Saya dan teman-teman sering berbelanja di sana” Ungkap Panca Makmun, koreografer Indonesia. Para pria pun seperti mulai memiliki “kewajiban” untuk berbelanja karena tingkat gaya hidup dan kesejahteraan masyarakat ibukota yang mulai berkembang. “ Kalau ke pesta-pesta di klub Oriental yang berada di beberapa hotel bintang lima Jakarta seperti hotel Sahid atau Hilton kita harus dress up, berbeda seperti sekarang” Ungkap Robby Tumewu, perancang busana dan aktor Indonesia. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa gaya hidup pria perkotaan saat itu dituntut untuk tampil totalitas sehingga berbuntut untuk terus berbelanja ke pusat perbelanjaan. Bahkan beberapa pria membuat baju bukan lagi ke penjahit tetapi ke para perancang lokal dengan gaya busana tematik untuk memenuhi dress code pesta-pesta keriaan di era 80-an hingga 90-an , salah satunya karya perancang Alex AB, Itang Yunasz, Ramli hingga Dedy Rizaldy.
Di era 90-an hingga millienium pusat perbelanjaan mewah marak dibangun di ibukota dengan jarak yang tidak terlalu jauh di kawasan bisnis Jakarta pusat hingga area selatan Jakarta. Dipastikan butik-butik label fashion kelas satu bertebaran dan terus berdatangan ke Jakarta. Bahkan butik-butik multibrand pun hadir di kawasan elit Jakarta seperti Kemang dan bilangan Kebayoran Baru. Ini memperlihatkan kemajuan pasar di Ibukota yang serba komsumtif dengan populasi besar tak terkecuali pria. Salah satu label fashion papan atas khusus pria contohnya Brioni dibuka di Plaza Indonesia dua tahun belakangan. Label asal Italia ini dikenal memiliki sederet pelanggan dari kalangan bangsawan Eropa hingga orang nomor satu di beberapa negara adi kuasa Di Indonesia sendiri label ini memiliki daftar pelanggan setia mulai dari kalangan para pengusaha hingga pejabat pemerintah yang berusia di atas 40-an, mereka tak perlu pikir panjang berbelanja senilai puluhan juta rupiah. “ Butik Brioni menyediakan ruangan VIP untuk beberapa pelanggan Brioni yang membutuhkanprivacy khusus saat berbelanja. Mereka merasa lebih nyaman saat berbelanja koleksi busana, karena beberapa pelanggan tidak ingin terlihat publik saat berbelanja” Ungkap Mira Delima, Public Relations dan Advertising PT Trans Mahagaya, perusahaan ritel fashion yang membawa label Brioni ke Indonesia. Merupakan suatu kemajuan bagi perkembangan fashion dan gaya hidup bagi pria, bahkan saat saya berkesempatan untuk berkunjung ke ruangan VIP butik Brioni, salah satu store manager-nya dengan semangat mempresentasikan video tentang brand history dan cara pembuatan setelan jas dari rumah mode yang sudah berusia 65 tahun ini kepada saya. “Ini merupakan bagian dari pelayanan bagi pelanggan di sela-sela proses belanja” Kata manager butik tersebut. Hal ini memperkuat gambaran pria masa kini tidak hanya sekadar menghabiskan uang 8 hingga 9 digit rupiah saja untuk membeli sepotong setelan jas, tapi juga membutuhkan brand knowledge dari barang yang telah mereka belanjakan. Ini menandakan beberapa pria masa kini juga peduli untuk mengenal tentang brand dan cara pembuatan elemen fashion yang mereka komsumsi tersebut “ Para pegawai butik Brioni sudah di training khusus untuk melayani pelanggan Brioni yang datang dari kalangan atas” tambah Mira Delima. Saat ini beberapa pria sudah memiliki banyak pilihan cara berbelanja. Mereka yang gemar berbelanja setelan jas, butik Ermenegildo Zegna hingga Brioni menyediakan pembuatan setelan jas khusus sesuai pilihan material dan ukuran pelanggan. Beberapa master tailor dari Italia secara khusus datang ke Jakarta memenuhi permintaan pelanggan dalam pembuatan busana khusus seperti made to measure dan couture. Apalagi jasa pemotongan jas dan celana, itu sudah menjadi pelayanan mutlak bagi rumah mode busana pria. Untuk aksesori biasanya jam tangan menduduki peringkat teratas bagi pria selain tentunya koleksi lainnay seperti sepatu dan tas kulit. Butik yang khusus menjual jam tangan mewah seperti The Time Place dan Bugari menyediakan ruangan khusus untuk berbelanja jam tangan dan perhiasan. Para pelanggan pria meminta untuk dilayani di ruangan private demi proses pengenalan secara mendetail dari produk, pemilihan koleksi yang variatif hingga penjelasan mengenai sales service sampai transaksi. Label Bulgari pun sempat mengadakan private dinner untuk loyal customer-nya di restauran hotel bintang lima. Biasanya para pelanggan pria menikmati hidangan makan malam diselingi dengan presentasi jam tangan untuk koleksi limited edition. “Para pelanggan pria kami kadang juga hadir pada acara launching product dan exhibition jam tangan yang kami gelar. Beberapa pelanggan, setelah acara kadang ada yang memesan produk yang kami lansir” Ungkap Mahal Riviero, Public Relation Bulgari. Hal ini mengindikasikan bahwa ada beberapa pria kadang juga butuh bersosialisasi di kalangannya saat berbelanja, namun tidak dalam bentuk fashion show yang sangat akrab bagi kaum wanita.
Beberapa pria pun tak segan-segan untuk meminta butik tempat mereka berbelanja untuk mengirimkan produk hasil belanjaannya ke rumah. “ Kami akan mengirimkan barang belanjaan pelanggan ke rumahnya bagi mereka yang membutuhkan privacy” Kata Zoey Rachid, Public Relation dan Advertising Manager Gucci. Label Gucci juga mengirimkan katalog dari koleksi produk terbaru setiap musimnya kepada para pelanggan prianya.” Dari katalog tersebut pelanggan kami bisa melihat dan menghubungi kami untuk memesan produk yang mereka pilih dan dikirim ke rumahnya langsung. Biasanya dating dari pelanggan kami yang di luar kota Jakarta” Tambah Zoey. Kisah tadi selain merupakan treatment khusus pelanggan kelas satu juga memberi pernyataan bahwa pria tak ingin terlihat dan risih untuk membawa kantong belanjaannya, apalagi ukurannya yang kelewat besar di public area. Salah satu pria pengusaha yang bergerak di bidang dekorasi sempat mengaku bahwa belanja on line atau meminta butik lokal kirim langsung belanjaannya ke rumah adalah cara favoritnya. Gambaran lainnya, beberapa pria yang bergelut di pemerintahan yang saya kenal tak segan-segan menghubungi saya untuk memilihkan setelan jas dan sepatu yang mereka butuhkan dari beberapa butik kelas wahid di Jakarta ini. “ Saya tak nyaman untuk berbelanja, pokoknya saya butuh setelan jas dan sepatu untuk menghadiri acara formil dan saya percayakan kepada Anda. Asisten saya akan membawakan uang tunai, kartu kredit dan barang belanjaannya” kata pria tersebut pada saya. Hal ini sempat membuat saya tersenyum dalam hati, mengapa dia begitu kuatirnya untuk berbelanja di butik-butik yang berada di pusat perbelanjaan, apakah mereka takut tersorot oleh publik? Atau mungkin bisa jadi mereka tak punya waktu untuk berbelanja dan tak mengerti elemen fashion yang terbaik dan updated untuknya. Situasi ini menyiratkan bahwa pria yang berkerja di pemerintahan atau politikus dan sebagainya merasa kurang nyaman untuk berbelanja di area publik, atau mereka juga bukan pria yang bertele-tele untuk mencari barang fashion yang dibutuhkan, kenyamanan dan kepraktisan adalah segalanya. Konsultan dadakan atau personal shopper yang saya alami tersebut datang dari kalangan awam sedangkan kalangan pria selebriti sendiri masih bisa dihitung jari yang mencoba mendaulat personal stylist yang berguna untuk menata gaya dan membelanjakan busana untuk keperluan selebriti tersebut. “Masih belum perlu, biasa-biasa saja tak apa” Kata salah satu selebriti pria. Padahal pencitraan adalah segalanya untuk pubic figure. Image adalah “ jualanan” mereka, kalau personal style tidak terbentuk dan belanja yang kurang ”smart” untuk mendongkrak penampilan, jangan mengemis calling-an production house karena kalah saing dengan talent baru yang segar dan stylish.Perkembangan desainer lokal yang menjual busana pria juga mulai bertebaran. Salah satunya adalah perancang dari generasi baru Jeffry Tan, hampir 90 persen kliennya adalah pria. “ Mereka tidak berani bereksperimen. Biasanya pria order jahitan busana dengan desain sama seperti di studio namun minta ganti bahan dan warna” Ungkap Jeffry Tan. Sedangkan Luwi Saludaji yang kerap dekat dengan busana formal dan wedding khusus pria tak ragu untuk datang ke rumah pelanggan prianya bila mereka memiliki request khusus dan diikuti pesanan istimewa tentunya. Pria kini terasa masih memperlhatkanpower –nya akan kebutuhan busana sendiri, beberapa keterbatasan tubuh seperti perut besar, kaki pendek , pinggul besar dan sebagainya membuat mereka harus membuat khusus kepada desainer atau penjahit. Bahkan pria kalangan mapan yang mampu membeli setelan jas Giorgio Armani dan Dunhill pun kadang masih mempercayakan untuk jahit khusus kepada penjahit langgananannya. Beberapa pria kalangan menengah pun kini patut bergembira karena pilihan berbelanja koleksi busana “mirip” dengan koleksi lansiran label fashion kelas satu tersedia di label-label fashion dengan harga terjangkau seperti Zara, Massimo Dutti hingga Banana Republic. Mereka bisa mengkomsumsi busana resmi dan trendy dengan harga yang sesuai dengan penghasilannya. Kini juga banyak pria dari kalangan muda yang ingin tampil individual dengan pilihan label-label fashion internasional dengan potonganedgy dan anti keseragaman. Mereka biasa berbelanja di butik multibrand, baik dari label internasional hingga karya perancang muda lokal yang berdiri di area tertentu seperti Level One Grand Indonesia, Goods Dept Plaza Indonesia , Mazee F’X Jakarta dan lain sebagainya hingga ajang bazaar fashion yang digelar pada waktu dan tempat tertentu. Mereka leluasa untuk memilih dari beragam label fashion berkarakter cutting edge dengan “harga kaum muda’ pula. Proyek kreatif ini menjawab apa yang dibutuhkan kalangan muda masa kini, kaum muda memiliki banyak pilihan elemen fashion dan gerai untuk berbelanja. Untuk beberapa pria lebih senior yang ber-visi sama soal pilihan elemen fashion belajaannya lebih memilih berbelanja di butik mutibrand.” Pelanggan pria kami yang datang dari profesi kalangan orang kreatif biasanya sudah mengerti fashion namun ingin desain yang individual dan limited” Ungkap Bai Soemarlono, pemilik butik Populo.
Fenomena gaya belanja pria dari masa ke masa yang mengalami perkembangan turut mengungkapkan sejauh mana fashion hingga urusan tata busana lainnya menjadi prioritas dan mengalami pertumbuhannya pada gaya hidup pria modern kini. Pilihan gaya berbelanja yang diterapkan secara berbeda memberi sinyal kepada pelaku industri fashion untuk terus berimprovisasi saat ingin terus menjala pelanggannya dalam berbelanja. Mau Anda berbelanja tanpa bertele-tele atau bawel seperti wanita, yang penting Anda nyaman dan puas saat membuang uang Anda untuk sepasang sepatu kulit incaran.
what a great blog,. inspiring
ReplyDeleteTHANKS DIKA
ReplyDeleteENJOY D ARTICLE YAH
ADI SURANTHA